Home » » Melihat Sejarah Dibalik Kabut

Melihat Sejarah Dibalik Kabut



    Sejarah Indonesia pasca kemerdekaan diwarnai berbagai peristiwa yang tidak diharapkan para pemersatu Bangsa. Sebuah Negara yang baru lahir bersamaan dengan terbentuknya Bangsa baru yang besar dan sangat beragam. Penyatuannya yang sangat ambisius, dengan luas wilayah yang hampir setara benua Eropa, berbagai macam etnis, suku, agama, budaya, dan bahasa digabungkan dalam sebuah tekad Bhinneka Tunggal Ika, berupa Negara Indonesia berlandaskan Pancasila. Negara yang berasal dari perjuangan beberapa kelompok rakyat Hindia Belanda yang kemudian pernah disatukan secara politik oleh Founding Father Ir. Soekarno dengan slogan Nasionalis, Agamis, dan Komunis (NASAKOM). Namun dari lahirnya sebuah Bangsa besar baru tersebut ada yang masih tak setuju, karena berbagai faktor seperti masih memegang teguh ego kedaerahan, mengagungkan kelompok agama, pertentangan ideologi, maupun tunggangan dari pihak asing. Pemberontakan DI/TII, PRRI/Semesta, PKI Madiun, dan Republik Maluku Selatan, bahkan hingga kini masih ada pemberontakan Organisasi Papua Merdeka. Sebuah kewajiban Negara melalui aparaturnya TNI untuk menumpas segala bentuk ancaman, tapi dalam proses penumpasan segala bentuk ancaman masih menimbulkan sebuah jejak hitam.
Peristiwa Gerakan 30 September merupakan salah satu sejarah paling kelam yang dialami oleh Indonesia. Peristiwa yang masih tertutup kabut gelap tentang seluruh rentetan apa yang sebenarnya terjadi dan siapa dalangnya. Rezim Orde Baru menuduh bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang dari peristiwa tersebut, tapi sebagai rakyat pun kita dapat berpikir objektif terlebih di era Reformasi yang mulai terbuka segala informasi dari berbagai sudut pandang dan fakta, perlahan tapi pasti kabut sejarah itu akan mulai terlihat. Pada masa itu PKI merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah Uni Soviet dan Tiongkok, bahkan partai komunis terbesar di dunia yang duduk di Negara nonkomunis dengan anggota dan simpatisan berjumlah sekitar dua puluh juta orang. Masa tersebut juga merupakan era perang dingin ideologi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Amerika telah kehilangan dukungan di Korea Utara, Tiongkok, dan yang paling membuat menderita Amerika Serikat dalam konflik perang adalah di Vietnam. Sudah banyak kawasan Asia yang jatuh tidak berpihak pada ideologi atau kesepahaman Amerika Serikat, oleh karenanya ketika Orde Baru berdiri Presiden Amerika Serikat Richard Nixon mengatakan bahwa Indonesia merupakan hadiah terbesar di Asia Tenggara.

     Banyak teori yang mengatakan bahwa ada terlibatnya CIA (Amerika Serikat), Soeharto sendiri, isu Dewan Jenderal, atau pasukan pengawal Presiden Cakrabirawa. Setelah Soeharto mengkudeta Soekarno secara perlahan, dilaksanakan pertemuan ekonom Orde Baru dengan CEO korporasi multinasional di Swiss, pada November 1967 seperti yang digambarkan dalam film dokumenter The New Rulers of the World (2001). Korporasi multinasional tersebut ialah perusahaan-perusahan tambang minyak, gas dan mineral, perusahaan otomotif, dan berbagai korporasi asing lainnya, tim ekonom Indonesia menawarkan tenaga kerja yang banyak dan murah, sumber daya alam yang melimpah, dan pasar domestik yang besar. Terbesit bahwa pihak asing sudah sangat haus sumber daya Indonesia yang pada zaman Bung Karno mereka tak diberi ruang untuk menguasai alam sesuai keinginan mereka. Namun dari semua teori maupun kabut sejarah yang tebal, hanyalah pemerintah saat ini yang mampu secara bijak untuk membuka semua tabir bisu sejujur-jujurnya.
Terlepas dari segala aspek politik, kepentingan asing, dan kepentingan beberapa kelompok, peristiwa Gerakan 30 September atau yang dikatakan oleh Bung Karno merupakan Gerakan Satu Oktober (Gestok) saat ini masih menggoreskan luka yang cukup dalam bagi para korbannya. Dilihat dari sisi Hak Asasi Manusia (HAM) sangat jelas peristiwa ini berbanding terbalik dengan nilai sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Mulai dari peristiwa Gestok tahun 1965 hingga tahun 1966 terjadi pelanggaran HAM yang sangat berat. Banyak anggota PKI, simpatisan, seniman, dan organ-organ masyarakat di bawah PKI, bahkan etnis Tionghoa diburu dan ditangkap tanpa diadili dipengadilan langsung dieksekusi massal. Aktivis-aktivis kiri yang ditangkap dan dibuang ke pulau Buru mengalami perlakuan tidak manusiawi. Pembantaian besar-besaran terjadi di pulau Jawa, Bali, Sumatera, dan beberapa bagian kecil di wilayah Indonesia. Perkiraan korban jiwa mencapai antara 500.000 hingga 1.000.000, seperti yang diungkapkan di film documenter 40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy (2009). Bahkan Sarwo Edhie yang merupakan Komandan Pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang juga mertua dari Susilo Bambang Yudhoyono mengakui bahwa korban tewas akibat pembantaian anggota, simpatisan, atau tertuduh PKI mencapai 3 juta jiwa. Sungguh sebuah ironi sejarah Bangsa kita yang membuat sebuah luka tak kunjung kering, sudah tak ada nilai lagi peri kemanusiaan.

     Angkatan Darat di rezim Soeharto mulai mengancam masyarakat untuk mau dilatih untuk membunuh orang-orang yang dituduh PKI, jika tak mau dilatih membunuh simpatisan PKI, ancamannya akan dituduh simpatisan PKI dan dieksekusi. Dilakukan penghasutan juga kepada kelompok-kelompok agama sebagai pembenaran dalam membunuh manusia yang dianggap PKI, yang sebetulnya masyarakat yang dihasut tersebut juga merupakan korban. Buku putih Nahdlatul Ulama (NU) Benturan NU-PKI 1948-1965 pun mengungkapkan bahwa posisi NU juga sebagai korban dari rezim Orde Baru, melalui Pemuda Ansor yang dihasut dibawah tekanan pemerintah untuk membantai simpatisan PKI. Mereka yang tadinya hidup biasa-biasa saja harus mengalami penyesalan batin seumur hidup karena melakukan tindakan pembunuhan keji. Pemerintah juga mulai membentuk organisasi pemuda dari kalangan preman yang ditugasi untuk menangkapi simpatisan PKI, bahkan orang etnis Tionghoa dan yang tertuduh PKI langsung dieksekusi mati tanpa proses peradilan. Seperti yang diungkapkan film dokumenter The Act of Killing (2009) karya Joshua Oppenheimer, para preman yang direkrut pemerintah dalam wadah organisasi pemuda membunuh para korban pembantaian secara gembira dan tidak pernah merasa bersalah.

     Seseorang yang tidak mengetahui mengenai peristiwa Gestok, sebagai rakyat jelata pun tak luput dari pembantaian asalkan tertuduh PKI. Sebuah tahun-tahun yang mencekam, aktivis pro-Soekarno dan dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang berhaluan kiri ikut ditangkap. Militer mulai berparade ke wilayah-wilayah yang dahulunya sebagai basis PKI maupun basis PNI kiri dan pendukung Soekarno, menangkap semua yang dituduh PKI digiring untuk diekseskusi langsung, disiksa secara keji, hilang secara paksa, dan yang memperihatinkan keluarganya yang tak ikut dalam politik ikut dibunuh dan diarak massa yang didukung militer keliling kampung. Keluarga dan anggota PKI yang selamat atau masih hidup pada era rezim Soeharto ditindas sewenang-wenang. Mereka diberi tanda eks-tapol di Kartu Tanda Penduduknya, harus melewai sanksi sosial berupa tekanan ejekan dari masyarakat, dijauhi dari lingkungan, dipersulit dalam mendapatkan akses pendidikan, hak politiknya dicabut, dan tidak diperbolehkan bekerja di militer dan institusi pemerintahan.
Kini mereka yang dahulu masih menyimpan luka, saat era Reformasi ini ada yang mencoba melawan dengan masuk ke partai politik dan menulis buku seperti dr. Ribka Tjiptaning Proletariyati yang menulis kehidupannya dalam buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI”. Dan ada yang memilih tetap diam hingga usia senjanya, yang diceritakan dalam film “The Look of Silence” (2014) sebuah film dokumenter yang menceritakan kehidupan keluarga korban tahun 1965-1966 di Sumatera yang ingin mencari kebenaran tentang keluarganya yang dibunuh, mereka mencari dalam kesenyapan hingga sekarang. Saat ini para keluarga korban tak mengalami tekanan seperti zaman Orde Baru, mereka sudah bisa berpolitik, bekerja, dan tak ada lagi status eks-tapol, namun stigma negatif itu terus muncul dikalangan masyarakat, nama mereka belum dibersihkan hingga sering muncul suara-suara dari lingkungan sosial yang berujung pada fitnah.

     Sebuah tanda tanya besar bagi kita semua, apakah seorang PKI itu bukan manusia yang dapat dibunuh tanpa diadili, semua hak mereka dirampas, keluarga mereka diperkosa. Mereka dicap salah tujuh turunan, anak-anak mereka yang tak tahu-menahu pun ikut menjadi korban penindasan sosial. Seakan membunuh mereka adalah sebuah pahala, menari-nari bahagia saat membunuh selayaknya orang yang haus akan darah, tanpa bersalah dan sangat gembira mencabut nyawa orang. Di dunia Internasional saja penjahat perang pun melewati masa pengadilan dahulu sebelum dieksekusi. Simpatisan PKI di daerah pelosok yang tak mengerti politik elit langsung dieksekusi, mayatnya tak diurus secara layak, dibuang ke sungai. Padahal tak ada agama yang mengajarkan untuk merampas hak hidup sesorang yang tak bersalah, mereka simpatisan PKI yang berada di daerah pelosok ikut dihabisi hingga keluarga-keluarganya. Sungguh mencederai sila kedua Pancasila dan nilai-nilai luhur Kebangsaan.

     Upaya pemerintah pernah perlahan ingin menuju titik terang walau sulit, tahun 2000 bergulir wacana dari Presiden ke-4 Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menggulirkan untuk pencabutan TAP MPRS XXV Tahun 1966 anti PKI, sekaligus beliau menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga korban seluruh Indonesia. Gus Dur berpendapat pelarangan Marxisme telah usang alias out of date, selain itu konsep Marxisme telah dipelajari terbuka di lingkungan Perguruan Tinggi, dan dendam sejarah masa lalu harus disingkirkan demi menata kehidupan Indonesia yang lebih baik ke depan. Upaya beliau belum tuntas mengobati luka sejarah lama karena banyak yang menentangnya hingga beliau lengser dari kursi Presiden.
     Jauh sebelum Gus Dur, Pemimpin Besar Revolusi Ir. Soekarno pun ingin mencegah pembantaian massal yang tengah berlangsung, saat menyampaikan pidatonya pada Desember, 1965 “….Pancasila dipakai untuk sebetulnya mendemonstir anti kepada kom, padahal tidak! Pancasila itu sebetulnya tidak anti kom, karena itu aku menegasken hal ini saudara-saudara. Pendek kalau saudara-saudara mengaku atau menamaken dirimu anak Bung Karno, Saya tidak mau punya anak yang tidak kiri…”. Ir. Soekarno tak bisa berbuat banyak karena selanjutnya sudah menjadi tahanan rumah di Istana Bogor. Patut diapresiasi juga Walikota Palu, Sulawesi Tengah Rusdi Mastura setelah menonton film The Act of Killing tergugah hatinya atas nama pribadi dan atas nama pemerintah setempat menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga korban pembantaian Orde Baru.

     Hal yang paling harus didapatkan dari korban eks-tapol dan korban politik dari kekejaman rezim Orde Baru tahun 1965-1966 adalah sebuah pengungkapan sejarah yang nyata. Mereka kini sudah tua renta, mereka butuh hidup nyaman dan aman. Mereka semua butuh keamanan saat ingin berkumpul, saling berbagi cerita pedih bersama agar menjadi obat walau tak bisa merubah lagi sejarah yang kelam. Mereka yang kehilangan keluarganya hingga kini ingin menatap masa depan yang cerah lewat keturunannya. Nama-nama para korban ingin dimurnikan, ingin dibersihkan, agar tak ada lagi fitnah-fitnah yang menyayat hati. Mereka berhak mengetahui sejarah yang sebenarnya, tabir kelam yang telah lama ditutup-tutupi. Bukan hanya para korban politik pembantaian 1965-1966 saja, kita sebagai penerus Bangsa Indonesia perlu mengetahui kejujuran sejarah Bangsa Indonesia, kita berhak pengetahuan sejarah yang benar.

     Bukan masalah politik atau kepentingan, jika memang pemerintah membiarkan peristiwa ini dikubur dalam-dalam peristiwa banjir darah yang menelan korban 3 juta jiwa, bukan tidak mungkin di masa depan akan terjadi peristiwa serupa. Tak selamanya bergantung pada ideologi komunis, tetapi bisa terjadi hal serupa atas nama agama atau fasis kedaerahan, karena masyarakat melihat pembantaian manusia 3 juta dianggap bisa dimaklumi. Hal berbahaya bisa meruntuhkan Pancasila bila dipercik api bom waktu, sebuah perang sipil akan mengulang sejarah serupa baik itu mengagungkan ras, etnis, maupun agama. Bahwa pemerintah harus merekonsiliasi semua korban politik tahun 1965-1966 dan rekonsiliasi sejarah Bangsa Indonesia. Tak ada kata terlambat untuk mengatakan maaf walau tak bisa mengubah sejarah, tetapi bisa menjadi sedikit obat luka. Demi menyongsong harapan baru untuk nilai kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia Indonesia yang lebih baik lagi. Untuk memperbaiki nilai-nilai luhur yang terkandung dalam sila kedua Pancasila seutuhnya seperti semula bagi masa depan kelak, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Sumber Gambar :  http://www.mobgenic.com/wp-content/uploads/2014/06/pemilu-indonesia-1955-29.jpeg

SAYA BUKAN KOMUNIS, FASIS ATAU YANG LAIN. 

0 komentar:

Posting Komentar